karinding

Selasa, 18 Oktober 2011

Sasaka Karinding "Bangkong dikongkorong kujang"

KARINDING VS HIPHOP.flv

abah olot melestarikan karinding !!

Abah Olot Melestarikan Karinding !!

Abah Olot Melestarikan Karinding


Abah Olot.
Endang Sugriwa alias Abah Olot meyakini, alat musik tradisional sebagai bagian dari kebudayaan suatu suku atau bangsa harus dilestarikan. Ini demi kebertahanan identitas masyarakat suku atau bangsa tersebut. Tahun 2003, ketika karinding, alat musik tradisional Sunda, dikabarkan punah, ia terperangah. ”Saya punya tanggung jawab,” katanya. 

Abah Olot merasa berkewajiban mencegah kepunahan karinding. Sejak dari kakek buyutnya, keahlian membuat dan memainkan karinding diwariskan dalam keluarga. Ia lalu meninggalkan pekerjaannya sebagai perajin mebel kayu dan bambu di Cipacing, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Ia kembali untuk menekuni warisan keluarga. 

”Saya generasi selanjutnya yang mewarisi keahlian itu setelah ayah saya (Abah Entang) tidak bisa lagi membuat karinding karena matanya rabun,” kata Abah Olot di Desa Cimanggung, Kecamatan Parakan Muncang, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. 

Di rumah bambu itu, Abah Olot dibantu lima perajin membuat karinding dan alat musik lain berbahan bambu. Pada ambin di teras rumah tersimpan seperangkat instrumen, berupa celempung (sejenis kecapi), toleat (seperti seruling), dan kokol (mirip kulintang). Instrumen itu digunakan grup musik tradisional Giri Kerenceng pimpinan Abah Olot. 

Semua alat musik tradisional itu hampir punah. Namun, yang menjadi perhatian utamanya adalah karinding. Alasannya, hanya sedikit warga yang bisa membuat karinding. 

Karinding mulanya terbuat dari pelepah aren dengan panjang 10-20 sentimeter. Namun dalam perkembangannya, pelepah aren semakin langka karena banyak warga yang menebangi pohon aren. Alasan mereka, pohon itu tidak lagi berbuah. Maka dari itu, pelepah aren pun terbuang, tidak sempat tua dan mengering. 

Bambu lalu menjadi bahan utama karinding. Syaratnya, umur bambu minimal dua tahun. Bambu dipotong, dihaluskan, dan dibagi menjadi tiga ruas. 

Ruas pertama menjadi tempat mengetuk karinding dan menimbulkan getaran di ruas tengah. Di ruas tengah ada bagian bambu yang dipotong hingga bergetar saat karinding diketuk dengan jari. Agar bisa menimbulkan suara, ruas tengah karinding diletakkan di mulut, diapit bibir atas dan bawah. 

Sekilas bunyi karinding serupa lengkingan serangga di sawah. Bunyi itu berasal dari resonansi di mulut saat karinding digetarkan. Untuk mengatur tinggi-rendah nada, pemain harus lincah mengatur napas dan ketukan jari. Alat semacam itu juga ada di Bali, disebut genggong. Namun, cara memainkannya berbeda. Genggong ditarik benang. 

Abah Olot bercerita, karinding mulai jarang dimainkan selepas tahun 1970-an. Maraknya alat musik modern memengaruhi selera musik masyarakat sampai ke kampung. Karinding, yang dahulu sering dimainkan pada acara pernikahan atau sunatan, mulai menghilang. 

Tahun 1940-1960-an, karinding akrab dalam kehidupan masyarakat Sunda. Karinding dimainkan untuk menghibur petani seusai memanen padi atau saat menjemur hasil panen. Malam harinya karinding dimainkan sebagai wujud sukacita atas hasil panen. 

”Karinding juga dimainkan petani saat menjaga sawah. Serangga sawah menyingkir apabila karinding berbunyi,” katanya.

Memasuki era 1990-an, karinding seperti ditelan bumi. Minimnya publikasi tentang karinding menjadi salah satu faktor redupnya alat musik tradisional itu. Karinding hanya lestari dalam sejumlah kecil keluarga, termasuk keluarga Abah Olot. 

Sejak usia 7 tahun, Abah Olot belajar memainkan dan membuat karinding dari ayah dan pamannya. Keahlian itu dia tinggalkan saat beranjak dewasa. Abah Olot sempat menjadi pengojek dan perajin mebel sebelum meneruskan warisan keahlian keluarga. 

”Istilahnya ulah kasilih ku junti, jangan melupakan adat-istiadat,” katanya. 

Mulai bangkit 

Namun, membangkitkan karinding tak mudah. Bunyi karinding dianggap tak sesuai dengan perkembangan musik. Saat awal membuat karinding, Abah Olot memberikan cuma-cuma kepada siapa pun yang mau menerima. 

Ajakannya kepada pemuda di kampung untuk memainkan karinding ditolak. ”Orang tua dan anak muda beranggapan tak ada gunanya memainkan karinding,” katanya. 

Namun, Abah Olot terus mempromosikan karinding ke berbagai daerah. Tahun 2008, pada perayaan ulang tahun Kota Bandung, dia bertemu komunitas kreatif kaum muda Bandung yang tergabung dalam Commonrooms. 

”Mereka minta suplai karinding untuk dimainkan di depan publik,” kata Abah Olot. 

Pada tahun yang sama dibentuk kelompok musik Karinding Attack beranggota delapan orang. Personel Karinding Attack bukan seniman tradisional Sunda. Mereka berasal dari komunitas musik underground dan death metal yang sering dianggap ”budak baong” (anak nakal). Abah Olot justru mengajari mereka memainkan karinding. 

Hasilnya, pada berbagai pertunjukan musik cadas dan punk, seperti Bandung Deathmetal Festival pada Oktober 2009, karinding turut tampil. Bermula dari komunitas death metal, karinding mulai populer di kalangan kaum muda. 

Banyak di antara mereka lalu tertarik dan ingin belajar memainkan karinding. Maka, setiap Rabu dan Jumat, di tempat Abah Olot dibuka latihan bagi mereka yang ingin belajar karinding. 

Kini, satu karinding dihargai Rp 50.000. Pesanan karinding mulai mengalir, bahkan pernah dalam sepekan Abah Olot harus memenuhi pesanan 100 karinding. 

Alat musik tradisional yang sempat dikhawatirkan punah itu kembali mewabah. Hampir semua daerah di Jawa Barat mempunyai kelompok musik karinding. Pemainnya bukan orang tua, tetapi anak muda dengan kreasi lagu modern. 

Nama kelompok mereka pun ”segar”, seperti Markipat (kependekan dari Mari Kita Merapat), Karmila (singkatan dari Karinding Militan), Republik Batujajar dari Kabupaten Bandung Barat, dan Karinding Skateboard yang dimainkan komunitas skateboard. 

Karinding juga dimainkan dalam Bandung World Jazz Festival, Desember 2009. Meski bisa dikatakan tidak lagi dimainkan di sawah, karinding justru mencuat pada festival jazz dunia diiringi musik elektrik dan instrumen modern, seperti gitar, terompet, dan drum. Maka, mengalunlah lagu-lagu Sunda dalam harmoni jazz dan karinding. 

Di balik semaraknya kembali karinding, ada Abah Olot yang tetap setia di ”bengkelnya”. Dia tetap tekun menghaluskan bambu dan menjaga identitas masyarakat Sunda.


Sabtu, 15 Oktober 2011

karinding PDF Print E-mail
minggu, 16 oktober 2011 09:47

thefuturesoundsoffolk.com/archives/7Dari Sawah Turun Ke Hati
Harus diakui, tidak banyak yang mengenal permainan sekaligus alat musik tradisional Sunda, Karinding. Padahal dulu fungsi Karinding selain sebagai pengusir kejenuhan petani juga sebagai pemikat lawan jenis.
Karinding lekat dengan petani Sunda. Alat musik tradisional yang dikategorikan sebagai permainan rakyat ini, menurut legenda sekitar, sudah ada di tanah Pasundan sejak 300 tahun lalu. Alat musik ini beruntung masih bisa ditemukan di Kampung Citamiang, Desa Pasirmukti, Kecamatan Cineam, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Sekarang, satu-satunya seniman Karinding yang tersisa adalah Oyon Eno Raharjo. Hingga sekarang hanya Oyon saja yang bisa memainkan Karinding dengan baik. Secara turun temurun ilmu permainan Karinding didapatnya dari mendiang Mbah Kaman era 1930-an. Estafet berlanjut ke Murniah di era 1945. Setelah itu diturunkan pada Oyon pada 1954. Tahun 1966, Oyon mulai membuat grup dan merekrut pemain.
Di masa itu ada empat orang pemain Karinding, yaitu Ki Karna, Sugandi, Solihin, dan Dudung. Tak cukup dengan grup, Oyon lalu mendirikan Sanggar Sekar Komara Sunda agar seni tradisional ini tetap lestari. Sanggar sempat terhenti karena sebagian pemain meninggal dunia. Mulai tahun 2003, usaha menggeliatkan kesenian Karinding dimulai lagi. Inilah fase kedua kebangkitan Karinding. Kini sudah ada tujuh orang yang berminat menjadi penerus Oyon.
Karinding di Kampung Citamiang terbuat dari kawung saeran (pohon aren-red). “Bahannya diambil dari kawung yang sudah tua dan setengah kering, humareupan, karena bahan yang kering sulit dibentuk,” jelas Oyon. Kawung saeran berbeda dengan pohon kawung biasa. Pohonnya pendek-pendek dan jarang diambil niranya. Pembuatan Karinding cukup sulit. Tidak semua orang bisa. Dari lima Karinding yang dibuat dalam satu hari paling bisa didapatkan satu Karinding yang cocok dimainkan.
karinding“Cara buatnya lumayan lama. Enaunya dikeringkan dulu lalu dibelah, kulit luarnya jangan dibuang sampai tebal 5 cm ke dalam daging enau. Keringkan dulu, bisa sampai 2 minggu, “ papar Sule, aktivis budaya Sunda.
Karinding tidak bisa dibuat dengan kawung basah, karena saat kering kawung akan cekung dan tidak berbunyi. “Alat yang digunakan yaitu, peso raut, bedog, peso leutik yang tajam untuk membuat buntut lisa,” tambah Oyon. Rentang antara bagian pahul dan buntut sejarak dua jari orang dewasa (jari telunjuk dan jari tengah) dan untuk buntut lisa cukup seukuran jari telunjuk saja. Proses pembuatan yang rumit menyebabkan alat musik ini semakin jarang ditemui.
Menurut Sule, pembina Sanggar Awi Hideng, pembuat karinding terakhir adalah almarhum Ki Karna. Ki Karna tutup usia tahun 2005, tepat setelah festival musik tradisional di Bandung. Dua tahun setelah Ki Karna meninggal, belum ditemukan lagi orang yang bisa membuat karinding.
Setelah ditelusuri ke desa asal berkembangnya Karinding, Desa Cikondang, Kecamatan Cineam, ternyata masih ada yang bisa membuat Karinding. ”Namanya Mamad, umurnya sekitar 35 tahun. dia lahir di Cikondang. Kakeknya masih menyimpan Karinding,” tandas Sule coba mengingat-ingat.
Dahulu di Cikondang ada semacam keyakinan, Karinding adalah alat individual yang digunakan sebagai alat komunikasi antar remaja. Dari sana diketahui, bahwa orang dari Cikondang bisa memainkan Karinding. Di Cikondang, main karinding ibarat loncat batu di Nias, kalau sudah bisa main karinding berarti dia sudah dewasa dan boleh menikah.
Gianjar, peneliti karinding dari Komunitas Kabumi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), memaparkan sebenarnya Karinding ada dimana mana. Bahannya ada yang dari kawung dan bambu. ” Kalau yang dari bambu biasanya khas dari Garut, nah kalau yang dari kawung ini yang khas Cineam. Ada juga yang mengatakan lagi kalau yang kawung ini untuk cowok, dan yang bambu untuk cewek,” tambah pria yang juga perajin pisau ini.
Hanya satu kunci nada yang bisa dimainkan Karinding. Oleh karena itu, Karinding mesti dipadukan dengan alat-alat musik tradisional (seperti angklung dan celempungan) untuk menghasilkan harmonisasi nada. Nada Karinding sangat ringan dan rendah. Memiliki empat bagian, yaitu bagian jarum tempat keluarnya nada yang disebut buntut lisa, lalu buntut sebagai pegangan. Bagian tengah yang disebut pahul berfungsi untuk mempercepat getaran dan bagian ujung yang disebut hulu sebagai sumber getaran. Hulu jika dipukul oleh tangan akan menggerakan buntut lisa. Sim salabim, keluarlah nada dari alat Karinding.
Soal bunyi dari bahan bambu dan kawung tentu saja berbeda. Sule berpendapat bunyi Karinding bambu lebih keras dari Karinding kawung. Karinding bambu dimainkan dengan cara dipetik tetapi sedangkan karinding kawung disentir (dipukul-red) sehingga lebih nyaring. Untuk perawatan biasa menggunakan kemiri yang dihaluskan, lalu dioles ke serat buntut lisa. Kalau buntut lisa menurun, harus diangkat lalu dioleskan minyak kemiri. Menyimpannya pun tak bisa sembarangan. Supaya suara tetap bening, buntut dilubangi dan diberi tali lalu digantung di atas tungku.
“Karinding harus sering dipanaskan. Pengeringan tidak dijemur di bawah matahari karena suara akan tidak nyaring. Tapi diikat dengan seutas tali dan dikeringkan di atas tungku, diunun na luhur hawu,” papar Oyon. Jelas saja, jika semakin hitam Karinding maka semakin tua pula umurnya.
Uniknya, sampai sekarang, pemain Karinding harus handal mengatur pernafasan dan pandai mengolah nada. Karinding tidak seperti alat musik lain yang memiliki ketukan tertentu. ”Karena karinding terdapat dua suara. Saat dimainkan berbeda, saat menggunakan resonansi tenggorokan, ditarik, hasilnya beda,” tutur Oyon.
Sule menambahkan, kunci untuk menghasilkan suara pada karinding, terletak pada lokbangkong (amandel-red). “Karindingnya sendiri sudah menghasilkan suara. Kemudian karena lokbangkong-nya membesar dan mengecil, maka nada yang dihasilkan pun ada nada tinggi dan ada nada rendah.“
Lagu yang dimainkan dapat berupa lagu khusus maupun sederhana, biasanya ditambahi syair dan pantun. Lagu-lagunya antara lain Rayak-Rayak, Nanyaan (melamar istri), Megapudar, Sieuh-Sieuh, Jeung Jae, dan Karinding.
Bagi masyarakat Sunda, khususnya petani, Karinding memiliki peran penting. ”Pada jaman dahulu para petani biasa menunggui sawah dengan mengusir hama. Salah satunya dengan Karinding itu,” jelas Oyon.
“Tapi ada lagu yang tidak boleh dimainkan malam hari, karena bisa mendatangkan orang hutan,” tambah pria kelahiran Tasikmalaya, 12 Maret enam puluh tujuh tahun yang lalu. Lagu Dengkleng tabu dimainkan dengan Karinding pada malam hari, karena menurut mitos lokal bisa mendatangkan macan Siliwangi.
Asal mula karinding sendiri masih menjadi pertanyaan. “Orang yang disini tau bahwa yang membuat karinding ini adalah seorang pangeran, yakni Kalamanda,” tutur Sule. Pangeran Kalamanda ini dipercaya membuat alat musik yang mirip dengan hewan yang disebut kakarindingan, untuk menarik perhatian lawan jenis.
Namun setelah dilacak, Sule mengatakan asal-muasal Karinding tertulis dalam naskah Sunda yang paling tua, Siksakandang Karsian. “Alat alat seperti angklung, kujang, karinding dan lain lain sudah ada ditulis disitu pada zaman didirikannya kerajaan Padjajaran.”
Berdasarkan Kamus Ensiklopedi Sunda, alat musik tradisional Karinding ternyata lahir karena cinta. Konon, Kalamanda jatuh hati setengah mati kepada seorang putri menak, Sekarwati. Ketika itu, orang tua si remaja putri yang dari kalangan bangsawan memagari ketat anaknya. Mereka dipinggit.
Kalamanda gelisah. Sudah sekian lama ia memendam rasa cintanya kepada Sekarwati. Akhirnya terbetik dalam benaknya membuat alat untuk berkomunikasi. Dari pelepah nira atau kawung, Kalamanda membuat sebuah waditra, yang kini dikenal dengan nama Karinding.
Alunan suara yang dihasilkan dari getaran sembilu kawung yang pipih itu mampu merasuk sukma Sekarwati. Akhirnya Kalamanda pun bersanding dengan gadis idamannya itu. Kalamanda menamai alat ciptaannya itu sekenanya saja, yakni Karinding. Wilayah Cineam ketika itu masih berupa rawa-rawa.
Di lingkungan seperti itu, hidup binatang sawah kakarindingan. Masyarakat di sekitar pesawahan menyukai binatang itu karena bentuknya lucu. Tentu saja sang gadis pujaan termasuk yang menyenanginya juga. Dengan spontan, Kalamanda menyebut alat musik yang dibuatnya dengan Karinding. Para pemuda lalu mengikuti jejak Kalamanda.
Yang menjadi khas adalah tiap karinding tidak bisa sama resonansinya, ”Jadi kalau misalnya kita buka pintu jadi si wanita sudah tau pasangannya dari suara dari cara mukulnya sudah tau,” papar Sule. Kini, binatang itu kini sudah tak tampak lagi. Yang membuat kita miris adalah anak-anak muda sekarang, sudah tak mengenal wujud binatang itu. Bahkan, nama seni Karinding pun masih terdengar asing.
Oyon menjelaskan, karinding di jaman sekarang memiliki dua buntut lisa, berbeda dengan karinding di jaman Kalamanda. ”Asal mulanya, buntut lisa satu, mengikuti bentuk kakarindingan.”
Saat ini Karinding bukan lagi alat musik yang fungsinya sebatas untuk mengusir hama, atau pemikat hati wanita tapi sudah menjadi bagian dari alat musik masyarakat sunda, walaupun masih terkesan eksklusif. Karinding hanya tampil di acara tertentu saja. Semisal acara di malam bulan purnama atau jika ada panggilan dari birokrat. Terlepas dari itu, tidak banyak yang tahu bahwa Karinding sudah menjadi salah satu koleksi museum di Jepang, sementara di negeri sendiri keberadaannya masih belum dilirik.

asal mula karinding

minggu 16 oktober 2011

ASAL MULA-NYA KARINDING

Awalnya karinding adalah alat yang digunakan oleh para karuhun untuk mengusir hama di sawah—bunyinya yang low decible sangat merusak konsentrasi hama. Karena ia mengeluarkan bunyi tertentu, maka disebutlah ia sebagai alat musik. Bukan hanya digunakan untuk kepentingan bersawah, para karuhun memainkan karinding ini dalam ritual atau upaca adat. Maka tak heran jika sekarang pun karinding masih digunakan sebagai pengiring pembacaan rajah. Bahkan, konon, karinding ini digunakan oleh para kaum lelaki untuk merayu atau memikat hati wanita yang disukai. Jika keterangan ini benar maka dapat kita duga bahwa karinding, pada saat itu, adalah alat musik yang popular di kalangan anak muda hingga para gadis pun akan memberi nilai lebih pada jejaka yang piawai memainkannya. Mungkin keberadaannya saat ini seperti gitar, piano, dan alat-alat musik modern-popular saat ini.
Beberapa sumber menyatakan bahwa karinding telah ada bahkan sebelum adanya kecapi. Jika kecapi telah berusia sekira lima ratus tahunan maka karinding diperkirakan telah ada sejak enam abad yang lampau. Dan ternyata karinding pun bukan hanya ada di Jawa Barat atau priangan saja, melainkan dimiliki berbagai suku atau daerah di tanah air, bahkan berbagai suku di bangsa lain pun memiliki alat musik ini–hanya berbeda namanya saja. Di Bali bernama genggong, Jawa Tengah menamainya rinding, karimbi di Kalimantan, dan beberapa tempat di “luar” menamainya dengan zuesharp ( harpanya dewa Zues). Dan istilah musik modern biasa menyebut karinding ini dengan sebutan harpa mulut (mouth harp). Dari sisi produksi suara pun tak jauh berbeda, hanya cara memainkannya saja yang sedikit berlainan; ada yang di trim (di getarkan dengan di sentir), di tap ( dipukul), dan ada pula yang di tarik dengan menggunakan benang. Sedangkan karinding yang di temui di tataran Sunda dimainkan dengan cara di tap atau dipukul.
Material yang digunakan untuk membuat karinding (di wilayah Jawa Barat), ada dua jenis: pelepah kawung dan bambu. Jenis bahan dan jenis disain bentuk karinding ini menunjukan perbedaan usia, tempat, dan sebagai perbedaan gender pemakai. Semisal bahan bambu yang lebih menyerupai susuk sanggul, ini untuk perempuan, karena konon ibu-ibu menyimpannya dengan di tancapkan disanggul. Sedang yang laki-laki menggunakan pelapah kawung dengan ukuran lebih pendek, karena biasa disimpan di tempat mereka menyimpan tembakau. Tetapi juga sebagai perbedaan tempat dimana dibuatnya, seperti di wilayah priangan timur, karinding lebih banyak menggunakan bahan bambu karena bahan ini menjadi bagian dari kehidupannya.[1]
Karinding umumnya berukuran: panjang 10 cm dan lebar 2 cm. Namun ukuran ini tak berlaku mutlak; tergantung selera dari pengguna dan pembuatnya—karena ukuran ini sedikit banyak akan berpengaruh terhadap bunyi yang diproduksi.
Karinding terbagi menjadi tiga ruas: ruas pertama menjadi tempat mengetuk karinding dan menimbulkan getaran di ruas tengah. Di ruas tengah ada bagian bambu yang dipotong hingga bergetar saat karindingdiketuk dengan jari. Dan ruas ke tiga (paling kiri) berfungsi sebagai pegangan.
Cara memainkan karinding cukup sederhana, yaitu dengan menempelkan ruas tengah karinding di depan mulut yang agak terbuka, lalu memukul atau menyentir ujung ruas paling kanan karinding dengan satu jari hingga “jarum” karinding pun bergetar secara intens. Dari getar atau vibra “jarum” itulah dihasilkan suara yang nanti diresonansi oleh mulut. Suara yang dikeluarkan akan tergantung dari rongga mulut, nafas, dan lidah. Secara konvensional—menurut penuturan Abah Olot–nada atau pirigan dalam memainkan karinding ada empat jenis, yaitu: tonggeret, gogondangan, rereogan, dan iring-iringan.