karinding

Sabtu, 15 Oktober 2011

karinding PDF Print E-mail
minggu, 16 oktober 2011 09:47

thefuturesoundsoffolk.com/archives/7Dari Sawah Turun Ke Hati
Harus diakui, tidak banyak yang mengenal permainan sekaligus alat musik tradisional Sunda, Karinding. Padahal dulu fungsi Karinding selain sebagai pengusir kejenuhan petani juga sebagai pemikat lawan jenis.
Karinding lekat dengan petani Sunda. Alat musik tradisional yang dikategorikan sebagai permainan rakyat ini, menurut legenda sekitar, sudah ada di tanah Pasundan sejak 300 tahun lalu. Alat musik ini beruntung masih bisa ditemukan di Kampung Citamiang, Desa Pasirmukti, Kecamatan Cineam, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Sekarang, satu-satunya seniman Karinding yang tersisa adalah Oyon Eno Raharjo. Hingga sekarang hanya Oyon saja yang bisa memainkan Karinding dengan baik. Secara turun temurun ilmu permainan Karinding didapatnya dari mendiang Mbah Kaman era 1930-an. Estafet berlanjut ke Murniah di era 1945. Setelah itu diturunkan pada Oyon pada 1954. Tahun 1966, Oyon mulai membuat grup dan merekrut pemain.
Di masa itu ada empat orang pemain Karinding, yaitu Ki Karna, Sugandi, Solihin, dan Dudung. Tak cukup dengan grup, Oyon lalu mendirikan Sanggar Sekar Komara Sunda agar seni tradisional ini tetap lestari. Sanggar sempat terhenti karena sebagian pemain meninggal dunia. Mulai tahun 2003, usaha menggeliatkan kesenian Karinding dimulai lagi. Inilah fase kedua kebangkitan Karinding. Kini sudah ada tujuh orang yang berminat menjadi penerus Oyon.
Karinding di Kampung Citamiang terbuat dari kawung saeran (pohon aren-red). “Bahannya diambil dari kawung yang sudah tua dan setengah kering, humareupan, karena bahan yang kering sulit dibentuk,” jelas Oyon. Kawung saeran berbeda dengan pohon kawung biasa. Pohonnya pendek-pendek dan jarang diambil niranya. Pembuatan Karinding cukup sulit. Tidak semua orang bisa. Dari lima Karinding yang dibuat dalam satu hari paling bisa didapatkan satu Karinding yang cocok dimainkan.
karinding“Cara buatnya lumayan lama. Enaunya dikeringkan dulu lalu dibelah, kulit luarnya jangan dibuang sampai tebal 5 cm ke dalam daging enau. Keringkan dulu, bisa sampai 2 minggu, “ papar Sule, aktivis budaya Sunda.
Karinding tidak bisa dibuat dengan kawung basah, karena saat kering kawung akan cekung dan tidak berbunyi. “Alat yang digunakan yaitu, peso raut, bedog, peso leutik yang tajam untuk membuat buntut lisa,” tambah Oyon. Rentang antara bagian pahul dan buntut sejarak dua jari orang dewasa (jari telunjuk dan jari tengah) dan untuk buntut lisa cukup seukuran jari telunjuk saja. Proses pembuatan yang rumit menyebabkan alat musik ini semakin jarang ditemui.
Menurut Sule, pembina Sanggar Awi Hideng, pembuat karinding terakhir adalah almarhum Ki Karna. Ki Karna tutup usia tahun 2005, tepat setelah festival musik tradisional di Bandung. Dua tahun setelah Ki Karna meninggal, belum ditemukan lagi orang yang bisa membuat karinding.
Setelah ditelusuri ke desa asal berkembangnya Karinding, Desa Cikondang, Kecamatan Cineam, ternyata masih ada yang bisa membuat Karinding. ”Namanya Mamad, umurnya sekitar 35 tahun. dia lahir di Cikondang. Kakeknya masih menyimpan Karinding,” tandas Sule coba mengingat-ingat.
Dahulu di Cikondang ada semacam keyakinan, Karinding adalah alat individual yang digunakan sebagai alat komunikasi antar remaja. Dari sana diketahui, bahwa orang dari Cikondang bisa memainkan Karinding. Di Cikondang, main karinding ibarat loncat batu di Nias, kalau sudah bisa main karinding berarti dia sudah dewasa dan boleh menikah.
Gianjar, peneliti karinding dari Komunitas Kabumi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), memaparkan sebenarnya Karinding ada dimana mana. Bahannya ada yang dari kawung dan bambu. ” Kalau yang dari bambu biasanya khas dari Garut, nah kalau yang dari kawung ini yang khas Cineam. Ada juga yang mengatakan lagi kalau yang kawung ini untuk cowok, dan yang bambu untuk cewek,” tambah pria yang juga perajin pisau ini.
Hanya satu kunci nada yang bisa dimainkan Karinding. Oleh karena itu, Karinding mesti dipadukan dengan alat-alat musik tradisional (seperti angklung dan celempungan) untuk menghasilkan harmonisasi nada. Nada Karinding sangat ringan dan rendah. Memiliki empat bagian, yaitu bagian jarum tempat keluarnya nada yang disebut buntut lisa, lalu buntut sebagai pegangan. Bagian tengah yang disebut pahul berfungsi untuk mempercepat getaran dan bagian ujung yang disebut hulu sebagai sumber getaran. Hulu jika dipukul oleh tangan akan menggerakan buntut lisa. Sim salabim, keluarlah nada dari alat Karinding.
Soal bunyi dari bahan bambu dan kawung tentu saja berbeda. Sule berpendapat bunyi Karinding bambu lebih keras dari Karinding kawung. Karinding bambu dimainkan dengan cara dipetik tetapi sedangkan karinding kawung disentir (dipukul-red) sehingga lebih nyaring. Untuk perawatan biasa menggunakan kemiri yang dihaluskan, lalu dioles ke serat buntut lisa. Kalau buntut lisa menurun, harus diangkat lalu dioleskan minyak kemiri. Menyimpannya pun tak bisa sembarangan. Supaya suara tetap bening, buntut dilubangi dan diberi tali lalu digantung di atas tungku.
“Karinding harus sering dipanaskan. Pengeringan tidak dijemur di bawah matahari karena suara akan tidak nyaring. Tapi diikat dengan seutas tali dan dikeringkan di atas tungku, diunun na luhur hawu,” papar Oyon. Jelas saja, jika semakin hitam Karinding maka semakin tua pula umurnya.
Uniknya, sampai sekarang, pemain Karinding harus handal mengatur pernafasan dan pandai mengolah nada. Karinding tidak seperti alat musik lain yang memiliki ketukan tertentu. ”Karena karinding terdapat dua suara. Saat dimainkan berbeda, saat menggunakan resonansi tenggorokan, ditarik, hasilnya beda,” tutur Oyon.
Sule menambahkan, kunci untuk menghasilkan suara pada karinding, terletak pada lokbangkong (amandel-red). “Karindingnya sendiri sudah menghasilkan suara. Kemudian karena lokbangkong-nya membesar dan mengecil, maka nada yang dihasilkan pun ada nada tinggi dan ada nada rendah.“
Lagu yang dimainkan dapat berupa lagu khusus maupun sederhana, biasanya ditambahi syair dan pantun. Lagu-lagunya antara lain Rayak-Rayak, Nanyaan (melamar istri), Megapudar, Sieuh-Sieuh, Jeung Jae, dan Karinding.
Bagi masyarakat Sunda, khususnya petani, Karinding memiliki peran penting. ”Pada jaman dahulu para petani biasa menunggui sawah dengan mengusir hama. Salah satunya dengan Karinding itu,” jelas Oyon.
“Tapi ada lagu yang tidak boleh dimainkan malam hari, karena bisa mendatangkan orang hutan,” tambah pria kelahiran Tasikmalaya, 12 Maret enam puluh tujuh tahun yang lalu. Lagu Dengkleng tabu dimainkan dengan Karinding pada malam hari, karena menurut mitos lokal bisa mendatangkan macan Siliwangi.
Asal mula karinding sendiri masih menjadi pertanyaan. “Orang yang disini tau bahwa yang membuat karinding ini adalah seorang pangeran, yakni Kalamanda,” tutur Sule. Pangeran Kalamanda ini dipercaya membuat alat musik yang mirip dengan hewan yang disebut kakarindingan, untuk menarik perhatian lawan jenis.
Namun setelah dilacak, Sule mengatakan asal-muasal Karinding tertulis dalam naskah Sunda yang paling tua, Siksakandang Karsian. “Alat alat seperti angklung, kujang, karinding dan lain lain sudah ada ditulis disitu pada zaman didirikannya kerajaan Padjajaran.”
Berdasarkan Kamus Ensiklopedi Sunda, alat musik tradisional Karinding ternyata lahir karena cinta. Konon, Kalamanda jatuh hati setengah mati kepada seorang putri menak, Sekarwati. Ketika itu, orang tua si remaja putri yang dari kalangan bangsawan memagari ketat anaknya. Mereka dipinggit.
Kalamanda gelisah. Sudah sekian lama ia memendam rasa cintanya kepada Sekarwati. Akhirnya terbetik dalam benaknya membuat alat untuk berkomunikasi. Dari pelepah nira atau kawung, Kalamanda membuat sebuah waditra, yang kini dikenal dengan nama Karinding.
Alunan suara yang dihasilkan dari getaran sembilu kawung yang pipih itu mampu merasuk sukma Sekarwati. Akhirnya Kalamanda pun bersanding dengan gadis idamannya itu. Kalamanda menamai alat ciptaannya itu sekenanya saja, yakni Karinding. Wilayah Cineam ketika itu masih berupa rawa-rawa.
Di lingkungan seperti itu, hidup binatang sawah kakarindingan. Masyarakat di sekitar pesawahan menyukai binatang itu karena bentuknya lucu. Tentu saja sang gadis pujaan termasuk yang menyenanginya juga. Dengan spontan, Kalamanda menyebut alat musik yang dibuatnya dengan Karinding. Para pemuda lalu mengikuti jejak Kalamanda.
Yang menjadi khas adalah tiap karinding tidak bisa sama resonansinya, ”Jadi kalau misalnya kita buka pintu jadi si wanita sudah tau pasangannya dari suara dari cara mukulnya sudah tau,” papar Sule. Kini, binatang itu kini sudah tak tampak lagi. Yang membuat kita miris adalah anak-anak muda sekarang, sudah tak mengenal wujud binatang itu. Bahkan, nama seni Karinding pun masih terdengar asing.
Oyon menjelaskan, karinding di jaman sekarang memiliki dua buntut lisa, berbeda dengan karinding di jaman Kalamanda. ”Asal mulanya, buntut lisa satu, mengikuti bentuk kakarindingan.”
Saat ini Karinding bukan lagi alat musik yang fungsinya sebatas untuk mengusir hama, atau pemikat hati wanita tapi sudah menjadi bagian dari alat musik masyarakat sunda, walaupun masih terkesan eksklusif. Karinding hanya tampil di acara tertentu saja. Semisal acara di malam bulan purnama atau jika ada panggilan dari birokrat. Terlepas dari itu, tidak banyak yang tahu bahwa Karinding sudah menjadi salah satu koleksi museum di Jepang, sementara di negeri sendiri keberadaannya masih belum dilirik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar